
Keduanya membawa pergi banyak informasi penting, termasuk foto-foto spesies unik itu ke negerinya.
Padahal, mengacu etika akademik, semestinya mereka melaporkan terlebih dahulu temuan menarik itu ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Kepala Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (UI), S Budi Santoso, menyatakan bahwa pihaknya sempat meminta untuk mencegat kedua warga Rusia itu di Bandara Soekarno Hatta. Sterenberg dan Aligev sebelumnya berjanji menunjukkan foto-foto hasil temuannya itu. ”Sayangnya mereka malah pergi,” katanya.
Informasi penemuan manusia kerdil itu, kata Budi, berawal dari kedatangan Strenberg dan Aligev untuk berkonsultasi kepadanya, Rabu (2/3), tepatnya dua pekan lalu. Mereka mengaku telah menemukan satu spesies unik di daerah Kerinci Seblat dan ingin menggali informasi lebih banyak. ”Mereka langsung datang dari Kerinci dan datang ke kantor saya,” tutur Budi kepada Republika, pekan silam.
Dari penuturan keduanya, Budi menduga spesies unik itu adalah manusia sedepa, sejenis manusia berperawakan kerdil yang sejak lama menjadi mitos di daerah Kerinci Seblat. Ciri-ciri spesies ini, seperti dituturkan peneliti Rusia tadi, antara lain berukuran tubuh kecil (tinggi badan kurang dari 100 cm), kulit wajah halus tanpa kumis, dan tidak memiliki lekukan di bagian bawah mulutnya. Diduga manusia kerdil ini masih berumur sangat muda.
Kedua warga Rusia ini mengaku menemukan manusia kerdil ini bersama penduduk setempat. Sang ‘Hobbit’ langsung mati ketika ditangkap. ”Kemungkinan ia mengalami shock,” kata Budi. Hingga kini belum diperoleh informasi terbaru soal jasad si manusia kerdil.
Helen von Strenberg, terang Budi, merupakan antropolog asal Rusia. Sementara, Oleg Aligev adalah fotografer profesional yang bekerja untuk Ute Megapolog Group. Mulanya, Strenberg dan Aligev berencana menunjukkan gambar-gambar sang ‘Hobbit’. ”Namun, mereka lupa membawanya dan berjanji menunjukkan di lain waktu,” kata Budi. Sebenarnya, pada Jumat (4/3) lalu dijadwalkan pertemuan kembali dengan kedua warga Rusia itu di Balai Arkeologi Nasional. Sayangnya, mereka tidak muncul.
Kepergian kedua warga Rusia ini dibenarkan oleh koresponden kantor berita Rusia TASS, Igor Zuev. Igor adalah pihak yang menampung kedua warga Rusia itu selama di Jakarta. Menurut Igor, keberangkatan Strenberg dan Aligev ke Rusia lantaran jadwal mereka yang cukup padat.
Igor membenarkan informasi penemuan manusia kerdil tersebut. Ia kini sedang mencoba merangkum data-data tambahan dari para pakar di Indonesia dan belum menuliskan berita soal itu. ”Sekarang saya juga sedang menunggu email berupa foto-foto spesies tadi (dari Strenberg dan Aligev),” tutur Igor saat dihubungi Republika, Ahad (13/3). Menurutnya, foto-foto tadi telah menjadi hak cipta para peneliti Rusia ini. Kini mereka tengah mendalami temuan tersebut di Rusia.
Jika benar, penemuan ‘manusia sedepa’ ini terbilang cerita cukup menarik. Belum genap setengah tahun dunia paleoantropologi dikejutkan dengan penemuan fosil manusia kerdil di Flores, NTB (Homo floresiensis).
Manusia sedepa sejauh ini cuma menjadi mitos bagi penduduk di barat dan utara Sumatra. Sang manusia kerdil dikabarkan pernah ditangkap oleh raja Aceh lebih dari seratus tahun lalu di daerah Gunung Leuser, Aceh. Banyak peneliti dalam dan luar negeri yakin Indonesia merupakan surga bagi spesies-spesies manusia unik yang bersembunyi di belantara Nusantara. Manusia sedepa atau Homo floresiensis barangkali cuma salah satunya.
Beberapa tahun lalu, misalnya, sempat terbetik kabar penemuan manusia kerdil di daerah Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Jember, Jawa Timur. Tinggi manusia kerdil itu diperkirakan 80 cm dengan panjang telapak kaki dari tumit hingga ibu jari sekitar 9,7 cm dan lebar tapak kaki 3,2 cm. Penduduk setempat menamainya si Siwil. Makhluk kerdil ini dilaporkan senang mengambil ikan milik nelayan.
Orang Pendek
Mungkin teman-teman pernah membaca kisah mengenai makhluk yang satu ini di beberapa majalah maupun surat kabar, karena lumayan banyak yang sudah mengulasnya. Orang pendek ialah nama yang diberikan kepada seekor binatang (manusia?) yang sudah dilihat banyak orang selama ratusan tahun yang kerap muncul di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Walaupun tak sedikit orang yang pernah melihatnya, keberadaan orang pendek hingga sekarang masih merupakan teka-teki. Tidak ada seorangpun yang tahu, sebenarnya makhluk jenis apakah yang sering disebut sebagai orang pendek itu. Tidak pernah ada laporan yang mengabarkan bahwa seseorang pernah menangkap atau bahkan menemukan jasad makhluk ini, namun hal itu berbanding terbalik dengan banyaknya laporan dari beberapa orang yang mengatakan pernah melihat makhluk tersebut. Sekedar informasi, Orang pendek ini masuk kedalam salah satu studi Cryptozoolgy, begitulah yang saya dapatkan dari beberapa sumber. Ekspediasi pencarian Orang Pendek sudah beberapa kali di lakukan di Kawasan Kerinci, Salah satunya adalah ekspedisi yang didanai oleh National Geographic Society. National Geographic sangat tertarik mengenai legenda Orang Pendek di Sumatera, beberapa peneliti telah mereka kirimkan kesana untuk melakukan penelitian mengenai makhluk tersebut.
Sejauh ini, para saksi yang mengaku pernah melihat Orang Pendek menggambarkan tubuh fisiknya sebagai makhluk yang berjalan tegap (berjalan dengan dua kaki) tinggi sekitar satu meter (diantara 85 cm hingga 130 cm) dan memiliki banyak bulu diseluruh badan. Bahkan tak sedkit pula yang menggambarkannya dengan membawa berbagai macam peralatan berburu, seperti semacam tombak. Keberadaan Orang Pendek sudah terlalu lama terdengar sejak berabad-abad lalu, sehingga hal itu menjadikannya sebagai salah satu legenda masyarakat disana. Dari ekspedisi yang beberapa kali di lakukan, umumnya ada suatu studi kasus mengenai klasifikasi pembagian saksi mata. Pertama saksi dari suku anak dalam, yaitu sekelompok orang yang tinggal disekitar areal Taman Nasional. Kemudian ada beberapa kelompok saksi mata dari orang desa lokal, kemudian beberapa kesaksian dari warga pendatang (Belanda) pada awal abad ke-20.
Legenda Mengenai Orang Pendek sudah secara turun temurun dikisahkan di dalam kebudayaan masyarakat Suku anak dalam. Mungkin bisa dibilang, Suku anak dalam sudah terlalu lama berbagi tempat dengan para Orang Pendek di kawasan tersebut. Walaupun demikian, jalinan sosial diantara mereka tidak pernah ada. Sejak dahulu suku anak dalam bahkan tidak pernah menjalin kontak langsung dengan makhluk-makhluk ini, mereka memang sering terlihat, namun tak pernah sekalipun warga dari suku anak dalam dapat mendekatinya. Ada suatu kisah mengenai keputus asaan para suku anak dalam yang mencoba mencari tahu identitas dari makhluk-makhluk ini, mereka hendak menangkapnya namun selalu gagal. Pencarian lokasi dimana mereka membangun komunitas mereka di kawasan Taman Nasioanal juga pernah dilakukan, namun juga tidak pernah ditemukan.
Awal tahun 1900-an, dimana saat itu Indonesia masih merupakan jajahan Belanda, tak sedikit pula laporan datang dari para WNA. Namun yang paling terkenal adalah Kesaksian Mr. Van Heerwarden di tahun 1923. Mr. Van Heerwarden adalah seorang zoologiest, dan disekitar tahun itu ia sedang melakukan penelitian di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.
Pada suatu catatan kisahnya, ia menuliskan mengenai pertemuannya dengan beberapa makhluk gelap dengan banyak bulu di badan. Tinggi tubuh mereka ia gambarkan setinggi anak kecil berusia 3-4 tahun, namun dengan bentuk wajah yang lebih tua dan dengan rambut hitam sebahu. Mr. Heerwarden sadar mereka bukan sejenis siamang maupun perimata lainnya. Ia tahu makhluk-makhluk itu menyadari keberadaan dirinya saat itu, sehingga mereka berlari menghindar. Satu hal yang membuat Mr. Heerwarden tak habis pikir, semua makhluk itu memiliki persenjataan berbentuk tombak dan mereka berjalan tegak. Semenjak itu, Mr. Heerwarden terus berusaha mencari tahu makhluk tersebut, namun usahanya selalu tidak berbuah hasil.
Sumber-sumber dari para saksi memang sangat dibutuhkan bagi para peneliti yang didanai oleh National Gographic Society untuk mencari tahu keberadaan Orang Pendek. Dua orang peneliti dari Inggris, Debbie Martyr dan Jeremy Holden sudah lama mengabadikan dirinya untuk terus menerus melakukan ekspedisi terhadap eksistensi Orang Pendek. Namun, sejak pertama kali mereka datang ke Taman Nasional Kerinci di tahun 1990, sejauh ini hasil yang didapat masih jauh dari kata memuaskan. Lain dengan peneliti lainnya, Debbie dan Jeremy datang ke Indonesia dengan dibiayai oleh Organisasi Flora dan Fauna Internasional (http://fauna-flora.org). Dalam ekspedisi yang dinamakan “Project Orang Pendek” ini, mereka terlibat penelitian panjang disana. Secara sistematik, usaha-usaha yang mereka lakukan dalam ekspedisi ini antara lain adalah pengumpulan informasi dari beberapa saksi mata untuk mengetahui lokasi-lokasi di mana mereka sering dikabarkan muncul. Kemudian ada metode menjebak pada suatu tempat dimana disana terdapat beberapa kamera yang selalu siap untuk menangkap aktivitas mereka. Rasa putus asa dan frustasi selalu menghinggap di diri mereka ketika hasil ekspedisi selama ini belum mendapat hasil yang memuaskan.
Hubungan Kekerabatan Yang Hilang Beberapa pakar Cryptozoology mengatakan bahwa Orang Pendek mungkin memiliki hubungan yang hilang dengan manusia. Apakah mereka merupakan sisa-sisa dari genus Australopithecus?
Banyak Paleontologiest mengatakan bahwa jika anggota Australopithecus masih ada yang bertahan hidup hingga hari ini, maka mereka lebih suka digambarkan sebagai seekor siamang. Pertanyaan mengenai identitas Orang Pendek yang banyak dikaitkan dengan genus Australopitechus ini sedikit pudar dengan ditemukannya fosil dari beberapa spesies manusia kerdil di Flores beberapa waktu yang lalu. Fosil manusia-manusia kerdil “Hobbit” berjalan tegak inilah yang kemudian disebut sebagai Homo Floresiensis. Ciri-ciri fisik spesies ini sangat mirip dengan penggambaran mengenai Orang Pendek, dimana mereka memiliki tinggi badan tidak lebih dari satu seperempat meter, berjalan tegak dengan dua kaki dan telah dapat mengembangkan perkakas/alat berburu sederhana serta telah mampu menciptakan api. Homo Floresiensis diperkirakan hidup diantara 35000 - 18000 tahun yang lalu.
Apakah Orang Pendek benar-benar merupakan sisa-sisa dari Homo Floresiensis yang masih dapat bertahan hidup? Secara jujur, para peneliti belum dapat menjawabnya.
Peneliti mengetahui bahwa setiap saksi mata yang berhasil mereka temui mengatakan lebih mempercayai Orang Pendek sebagai seekor binatang. Debbie Martyr dan Jeremy Holden, juga mempertahankan pendapat mereka bahwa Orang Pendek adalah seekor siamang luar biasa dan bukan hominid.
Referensi:
*Allen, Benedict. Hunting the Gugu. Faber and Faber
*Newton, Michael. Encyclopedia of Cryptozoology: A Global Guide to Hidden Animals and Their Pursuers
Penemu Naskah Undang-Undang Zaman Adityawarman Oleh: Syofiardi Bachyul Jb/PadangKini.com

Pendapat pertama, selama ini orang beranggapan naskah Malayu hanya ada setelah era Islam dan tidak ada tradisi naskah Malayu pra-Islam. Artinya, dunia tulis-baca orang Malayu diidentikkan dengan masuknya agama Islam di nusantara yang dimulai pada abad ke-14.
“Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah” yang ditemukan Kozok merupakan naskah pertama yang menggunakan aksara Pasca-Palawa dan memiliki kata-kata tanpa ada satupun serapan ‘berbau’ Islam.
Berdasar uji radio karbon di Wellington, Inggris naskah ini diperkirakan dibuat pada zaman Kerajaan Adityawarman di Suruaso (Tanah Datar, Sumatera Barat) antara 1345 hingga 1377. Naskah ini dibuat di Kerajaan Dharmasraya yang waktu itu berada di bawah Kerajaan Malayu yang berpusat di Suruaso. Karena itu Kozok mengumumkan naskah tersebut sebagai naskah Malayu tertua di dunia yang pernah ditemukan.
“Ada pakar sastra dan aksara menganggap tidak ada tradisi naskah Malayu sebelum kedatangan Islam, ada yang beranggapan Islam yang membawa tradisi itu ke Indonesia, dengan ditemukannya naskah ini teori itu runtuh,” kata Kozok yang bertemu Padangkini.com di Siguntur, Kabupaten Dharmasraya pengujung Desember 2007.
Aksara Sumatera Kuno
Pendapat kedua, seperti halnya Jawa, Sumatera sebenarnya juga memiliki aksara sendiri yang merupakan turunan dari aksara Palawa dari India Selatan atau aksara Pasca-Palawa. Selama ini aksara di sejumlah prasasti di Sumatera, seperti sejumlah prasasti-prasasti Adityawarman, disebut para ahli sebagai aksara Jawa-Kuno.
Padahal, menurut Kozok, aksara itu berbeda. Seperti halnya di Jawa, di Sumatera juga berkembang aksara Pasca-Palawa dengan modifikasi sendiri dan berbeda dengan di jawa yang juga bisa disebut Aksara Sumatera-Kuno.
Prasasti-prasasti peninggalan Adityawarman di Sumatera Barat, menurutnya, sebenarnya aksara Pasca-Palawa Sumatera-Kuno, termasuk yang digunakan pada Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah dengan perbedaan satu-dua huruf. Namun selama ini prasasti-prasasti itu disebut ahli yang umumnya berasal dari Jawa sebagai aksara Jawa-Kuno.
“Mereka punya persepsi bahwa Sumatera itu masih primitif dan orang Jawa yang membawa peradaban, begitulah gambaran secara kasar yang ada dibenak mereka, karena mereka peneliti Jawa, sehingga ketika mereka datang ke Sumatera dan melihat aksaranya, menganggap aksara Sumatera pasti berasal dari Jawa, nah sekarang kita tahu bahwa kemungkinan aksara itu duluan ada di Sumatera daripada di Jawa,” katanya.
Pendapat ketiga, kerajaan Malayu tua pada zaman Adityawarman telah memiliki undang-undang tertulis yang detail. Undang-undang ini dikirimkan kepada raja-raja di bawahnya. Selama ini belum pernah ada hasil penelitian yang menyebutkan Kerajaan Malayu Kuno memiliki undang-undang tertulis.
Pendapat keempat, dengan ditemukannya “Naskah Undang-Undang Tanjung Tanah” selangkah lagi terkuak informasi mengenai Kerajaan Dharmasraya, Adityawarman, dan Kerajaan Malayu yang beribukota di Suruaso (Tanah Datar). Naskah tersebut menyebutkan bahwa Kerajaan Malayu beribukota Suruaso yang dipimpin oleh Maharaja Diraja, di bawahnya Dharmasraya yang dipimpin Maharaja, dan di bawah Dharmasraya adalah Kerinci yang dipimpin Raja.
“Meski begitu saya yakin kekuasaan Suruaso dan Dharmasraya terhadap Kerinci hanya secara ‘de jure’ (hukum-red) dan bukan ‘de facto’ (kekuasaan), sebab Kerinci waktu itu tetap memiliki kedaulatannya sendiri, hubungannya lebih kepada perekonomian karena Kerinci penghasil emas dan pertanian,” kata Kozok.
Terkenang Kebaikan Bupati Kerinci
Uli Kozok (nama lengkapnya Ulrich Kozok) lahir di Hildesheim, Niedersachsen, Jerman pada 26 Mei 1959. Lelaki berkebangsaan Jerman dan permanent resident di New Zealand dan USA ini, pernah menjadi dosen di Universitas Auckland pada 1994-2001. Kini sejak 2001 menjadi Assosiate Professor, Department of Hawaiian and Indo-Pacific Languages an Literatures di University of Hawai’I di Manoa, USA.
Sebelum meneliti naskah kuno Kerinci, Kozok yang fasih bahasa Indonesia dan Batak ini bertahun-tahun mempelajari bahasa, budaya, dan sastra Batak. Bahkan lelaki yang kawin dengan dengan perempuan asal Batak Karo dan memiliki dua anak ini, meraih meraih gelar MA pada 1989 dan PhD pada 1994 dari University of Hamburg dengan tesis dan disertasi tentang bahasa Batak.
Tiga bukunya dalam bahasa Indonesia tentang bahasa Batak pernah diterbitkan tiga penerbit di Indonesia pada 1999 dan 2005.
Pengalaman di Kerinci menyimpan kenangan tersendiri bagi Kozok atas keramahan pejabat dan masyarakatnya. Seorang koleganya di Universitas Auckland memperkenalkan dengan seorang tokoh masyarakat Kerinci mantan anggota DPRD bernama Sutan Kari.
Ketika pada 1999 Kozok berkunjung ke Kerinci dan dipertemukan dengan Bupati Fauzi Siin untuk tujuan penelitian aksara Kerinci, sang bupati mengatakan penelitian itu sangat penting dan membantunya sepenuh hati.
“Ia menanyakan persiapan saya di Kerinci, di mana menginap dan bagaimana transportasinya karena mesti ke kampung-kampung, saya katakan belum saya pikirkan, lalu diambilnya kunci mobilnya di saku dan dilemparkan ke saya, ini mobilnya, katanya, Bupati juga membayar penginapan, saya sangat mendapat sambutan yang luar biasa,” kenang Kozok.
Pada 2002 ia kembali ke Kerinci untuk melanjutkan penelitian terhadap naskah-naskah lama yang ditulis dalam aksara Kerinci. Ketika hendak pulang dari melihat naskah yang disimpan masyarakat di Sungai Penuh, ibu Kabupaten Kerinci, ia mengatakan kepada Sutan Kari selama di Kerinci tidak pernah melihat naskah dari kulit kayu yang umumnya di Batak. Sutan Kari mengatakan ada satu di Tanjung Tanah, sebuah desa di tepi Danau Kerinci.
“Hari itu karena sudah sore, kami ke sana dan kebetulan yang menyimpan naskah itu seorang guru sekolah, walaupun melihat naskah itu harus ada syarat segala macam, dia turunkan dan diperlihatkan kepada saya, saya buat foto,” katanya.
Naskah yang ditulis di kertas yang terbuat dari kayu daluang itu disimpan dalam periuk dari tanah yang juga mungkin usianya sudah ratusan tahun. Di dalam periuk itu masih ada kain dan baju yang sudah sangat kuno. Benda yang dijadikan pusaka itu dibalut dengan kain, dimasukkan dalam periuk, periuk disimpan dalam kardus dan ditaruh di loteng.
Banyak yang Tak Percaya
Bermula dari situ, Kozok menelitinya. Kemudian mengirim email kepada beberapa kolega mengatakan kemungkinan naskah tersebut berasal dari abad ke-14.
“Mereka semua menjawab; lupaklanlah, itu mustahil, tidak mungkin ada bahan yang bisa bertahan begitu lama, jadi mereka itu sangat tidak percaya, ada yang percaya tetapi kebanyakan tidak percaya,” katanya.
Karena sangat yakin, Kozok kembali ke Kerinci selama Mei 2003, lalu meminta sedikit sampel kertas kulit kayu sebanyak tersebut untuk dikirim ke Rafter Radiocarbon Laboratory di Wellington. Lembaga ini kemudian memberitahukan bahwa umur naskah Tanjung Tanah lebih dari 600 tahun.
“Sesuai data sejarah yang saya kumpulkan, saya sampai pada kesimpulan bahwa kemungkianan besar naskah itu berasal dari paruh kedua abad ke-14, dan hasil radiokarbon itu pas sekali, perkiraan saya tidak meleset, itu aksara kuno yang bentuknya masih mirip aksara Palawa dari India Selatan tapi sudah sangat Sumatera, aksara itu hampir sama yang digunakan di Minitujuh Aceh, sampai ke Lampung, aksara itu digunakan pada abad itu,” katanya.
Sebenarnya naskah Tanjung Tanah pernah dicatat sebagai salah satu daftar naskah kuno Kerinci oleh Petrus Voorhoeve, pegawai bahasa Zaman Kolonial Belanda pada 1941 sebagai tambo Kerinci dan disimpan di perpustakaan Koninklijk Instituut voor de Taal, Land, en Volkenkunde (KILV) di Leiden, Belanda.
Di perpustakaan itu ada foto naskah tersebut tapi kurang baik. Voorhoeve menuliskan laporan tentang naskah yang disebutnya sebagian beraksara rencong, dan halaman lainnya beraksara Jawa Kuno. Namun tidak sampai pada kesimpulan.
Undang-Undang dari Dharmasraya
Transliterasi dan terjemahan naskah 34 halaman itu dilakukan sejumlah ahli yang dikoordinasi oleh Yayasan Naskah Nusantara (Yanassa). Ternyata naskah tersebut berisi undang-undang yang dibuat di Dharmasraya (sekarang tepatnya di tepi Sungai Batanghari di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat) yang diberikan kepada masyarakat Kerinci.
Dharmasraya waktu itu adalah pusat Kerajaan Malayu beragama Hindu-Buddha di bawah pemerintahan tertinggi di Saruaso (Tanah Datar) dengan raja Adityawarman. Tulisan tentang naskah kuno ini telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia berjudul Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, Naskah Malayu yang Tertua (Yayasan Obor Indonesia: 2006). Edisi sebelumnya dalam bahasa Inggris The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript ( Cambridge: St Catharine’s College and the University Press: 2004).
Uli Kozok pernah mengikutkan kopian Naskah Tanjung Tanah pada pameran di Singapura 18 Januari hingga 30 Juni 2007 dalam pameran bertajuk “Aksara: The Passage of Malay Scrips-Menjejaki Tulisan Melayu“.
Sebelumnya di Malaysia Naskah Tanjung Tanah diseminarkan di University of Malaya, Kuala Lumpur dalam acara Tuanku Abdul Rahman Conference, 14-16 September 2004. Saat itu Uli Kozok menyerahkan buku Tanjung Tanah Code of Law terbitan Cambridge University kepada Perdana Menteri Malaysia.
“Mereka (Bupati dan masyarakat Kerinci-red) sudah sangat baik budi kepada saya, dan sekarang… ya mudah-mudahan saya bisa membantu Kerinci sedikit, mempopulerkan daerahnya, sebagaimana orang Malayu bilang… untuk membalas budi, sekarang perhatian ilmuwan dari mancanegara sudah banyak terhadap Kerinci sebagai daerah ditemukan naskah malayu yang tertua,” katanya.***
sumber : kerinci.info
0 komentar:
BERIKAN KOMENTAR ANDA